SUARA RAKYAT.NEWS, WAJO - Kasus pelecahan seksual yang dilakukan Kepala Desa Lempong, Abdul Karim, tak kunjung berujung. Pasalnya, berkas perkara yang dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Wajo, sudah dua kali dikembalikan ke penyidik Polres Wajo.
Ketidakjelasan proses itu, dinilai Pelita Hukum Independen (PHI) tidak sehat dan perlu diperjelas. Olehnya, PHI pun menyampaikan aspirasi ke DPRD Wajo, Rabu (17/2/2021) sore.
Pihak kepolisian hadir pada kesempatan itu. Sayangnya, jaksa yang diundang tidak menghadiri undangan itu.
“Dua kali berkas dikembalikan dengan berbagai pertimbangan,” kata Kanit Tipiter Satreskrim Polres Wajo, Iptu Andi Irvan, yang menangani perkara tersebut.
Meski tak membeberkan secara rinci petunjuk jaksa dengan alasan etis, Andi Irvan menyebutkan poin dari petunjuk jaksa adalah tidak terpenuhinya dua alat bukti.
“Pointnya adalah tidak terpenuhinya dua alat bukti, tapi kami berkeyakinan itu sudah terpenuhi,” katanya.
Ketua PHI, Sudirman menyebutkan, jika kasus pelecehan seksual yang dilakukan Kepala Desa Lempong, Abdul Karim terhadap seorang mahasiswi KKP, berinisial AP (23) tidak memenuhi pasal 289 KUHP bakalan berdampak luas.
“Ada konsekuensi logis kalo kasus ini berhenti. Kasus yang sama ke depan, yang dimaafkan pasal 289 menurut jaksa yang tidak bisa dipakai untuk kasus seperti ini,” katanya.
Maka, sambung Sudirman, pelecehan-pelecahan yang terjadi yang serupa dilakukan Abdul Karim akan lumrah dan tak bisa dipidanakan.
“Hanya karena saksi kurang dan itu jadi alasan jaksa mengembalikan berkas. Perlu kita tahu, ada banyak perbuatan asusila yang putus di pengadilan tanpa adanya saksi,” katanya.
Pihak DPRD Wajo pun juga didesak untuk mengawal kasus ini. Sebab, ada bahaya laten yang tersembunyi dan akan mencuat di masa yang akan datang bila kasus pelecahan seksual Kades Lempong mengendap begitu saja.
Terlebih lagi pada kasus ini, korban mengakui bahwa dirinya dilecehkan, pelaku mengakui khilaf atas perbuatannya, polisi telah memeriksa saksi ahli dan berpendapat kasus itu masuk ranah pidana, tapi jaksa malah menyebutkan tidak memenuhi alat bukti.
“Kenapa kasus ini menjadi perhatian publik, khususnya PHI, karena pelakunya adalah aparatur negara dan korbannya adalah perwakilan akademik yang dititipkan di tempat itu untuk KKP,” katanya.
Anggota DPRD Wajo, Taqwa Gaffar yang menerima aspirasi itu menyebutkan, akan menampung dan menerima aspirasi itu, lalu disampaikan ke pimpinan.
“Kami paham ini bukan intervensi PHI, tapi pihak kepolisian mengatakan masih ada upaya atau harapan agar kasus ini segera tuntas, sayangnya kejaksaan tidak hadir hari ini untuk mendengarkan alasannya,” katanya.
Sebagaimana diketahui, kasus pelecahan seksual yang dilakukan Abdul Karim terjadi pada Juli 2020 lalu. Kemudian, polisi menetapkannya sebagai tersangka pada November 2020 lalu. Sampai Abdul Karim bebas demi hukum, lantaran masa penahanannya selama 60 hari bebas, berkas perkara belum juga P21. (Adv Humas DPRD Wajo)